Beranda | Artikel
Bolehnya Menggunakan Air Mustamal
Senin, 21 September 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny

Bolehnya Menggunakan Air Musta’mal merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 3 Shafar 1442 H / 21 September 2020 M.

Download kajian sebelumnya: Pembagian Air Untuk Bersuci

Kajian Tentang Bolehnya Menggunakan Air Musta’mal

Pada kajian yang sebelumnya kita sudah membahas tentang bolehkah kita menggunakan air musta’mal untuk bersuci. Dan kita juga kita sudah membahas tentang apa yang dimaksud dengan air musta’mal, yaitu air yang telah digunakan untuk bersuci sebelumnya. Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas suatu permasalahan yang berhubungan dengan masalah tersebut, yaitu bolehnya menggunakan air musta’mal.

Pembahasannya adalah bolehkah seseorang bersuci dengan air musta’mal ini tapi air tersebut telah digunakan oleh lawan jenis. Misalnya air sisa wudhunya perempuan digunakan oleh laki-laki atau sebaliknya, air sisa wudhunya laki-laki digunakan untuk berwudhu oleh perempuan. Atau air sisa mandinya perempuan digunakan untuk mandi oleh laki-laki. Atau air sisa mandinya laki-laki digunakan untuk mandi oleh perempuan. Bolehkah yang seperti ini?

Maka di sini ada dua pendapat dari para ulama. Yaitu:

1. Tidak boleh menggunakan air musta’mal yang telah digunakan oleh lawan jenis

Pendapat yang pertama adalah pendapat yang mengatakan tidak boleh seorang laki-laki menggunakan sisa air wudhu dari seorang perempuan. Begitu pula sebaliknya, tidak boleh seorang perempuan berwudhu dengan air sisa wudhunya laki-laki, begitu pula dalam masalah mandi.

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Al-Hakam bin ‘Amr yang terkenal dengan julukannya Al-Aqra, beliau mengatakan:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang seorang laki-laki untuk berwudhu dengan sisa air wudhunya perempuan.” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini jelas menerangkan kepada kita bahwa seorang laki-laki tidak boleh berwudhu dengan sisa air wudhunya perempuan.

Mereka juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dia mengatakan:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ ، أَوْ يَغْتَسِلَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ ، زَادَ مُسَدَّدٌ : وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا

“Bahwa Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang seorang wanita mandi dengan air sisa mandinya seorang laki-laki. Dan sebaliknya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang seorang laki-laki mandi dengan air sisa mandinya perempuan. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: ‘Silahkan keduanya mengambil dari air itu`” (HR. Abu Dawud)

Hadits yang pertama menjelaskan tentang wudhu, hadits yang kedua menjelaskan tentang mandi, dan kedua-duanya masuk dalam bab bersuci. Hadits yang pertama melarang antara laki-laki dan peremapuan untuk berwudu menggunakan sisa dari salah satu dari keduanya, hadits yang kedua melarang antara laki-laki dan perempuan untuk mengambil air dari salah satu dari keduanya dan digunakan untuk mandi.

Inilah dalil-dalil yang disebutkan oleh para ulama yang melarang hal tersebut.

2. Dibolehkan menggunakan air musta’mal yang telah digunakan oleh lawan jenis

Dibolehkan bagi laki-laki berwudhu atau mandi dengan menggunakan air sisa wudhu atau mandi dari perempuan. Dan ini pendapatnya banyak ulama. Mereka berdalil dengan banyak hadits juga, diantaranya hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, beliau mengatakan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu pernah mandi (maksudnya mandi junub) dengan air sisanya istri beliau Maimunah Radhiyallahu ‘Anha” (HR. Muslim)

Ini jelas menunjukkan bolehnya hal tersebut.

Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma juga mengatakan dalam hadits yang lain:

اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَتَوَضَّأَ مِنْهَا أَوْ يَغْتَسِلَ ، فَقَالَتْ : لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ الْمَاءَ لَا يُجْنِبُ

“Salah seorang istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mandi dari sebuah baskom. Setelah itu datanglah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menggunakan air yang ada di baskom itu. Maka salah satu dari istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, sungguh aku tadi menggunakan air itu dalam keadaan aku junub (maksudnya aku menggunakannya untuk mandi junub)’, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menjawab: ‘Sungguh air itu tidak bisa junub.`” (HR. Abu Dawud)

Artinya yang junub bukan airnya, tapi yang junub itu engkau (istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap memakainya.

Ini menunjukkan bahwa beliau benar-benar mandi dengan sisa air yang digunakan untuk mandi salah seorang istri beliau. Kalau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan ini, berarti ini juga boleh dilakukan oleh umatnya. Pada asalnya bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu boleh dilakukan oleh umatnya. Karena beliau suri tauladan bagi umatnya. Sehingga apapun yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada asalnya boleh dicontoh dan dilakukan oleh umatnya kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut khusus untuk beliau. Selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu khusus untuk beliau, maka itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh beliau boleh dilakukan oleh umatnya.

Hadits lain dari riwayat ibunda kita ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha yang menunjukkan bahwa seseorang boleh bersuci dengan air yang telah digunakan untuk bersuci oleh seorang perempuan. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ini mengatakan:

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ جَنَابَةٍ

“Aku dahulu pernah mandi bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari satu tempat air dalam keadaan junub.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kalau mandinya dari satu tempat, jelas ada sisa-sisa air yang kembali ke tempat tersebut dan sisa-sisa air yang digunakan untuk mandi itu akan saling bercampur. Dan ini menunjukkan bolehnya seorang laki-laki mandi dengan sisa airnya perempuan, begitu pula sebaliknya.

Dua pendapat ini mempunyai dalilnya masing-masing, dalilnya juga shahih. Bagaimana kita menyikapi dua pendapat ini? Mana pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ini?

Kalau kita ingin mempromosikan hadits-hadits yang digunakan oleh para ulama yang berselisih ini, maka kita bisa mengompromikannya dengan mengatakan bahwa hadits yang melarang itu kita bisa bawa larangannya kepada larangan yang tidak mengharamkan, tapi larangan yang memakruhkan apabila tidak ada kebutuhan untuk itu. Kalau ada kebutuhan untuk itu, maka kemakruhan tersebut menjadi hilang.

Jadi larangan yang ada dalam hadits-hadits yang digunakan oleh mereka yang berpendapat dengan pendapat yang melarang, maka kita katakan bahwa hadits-hadits tersebut memang di dalamnya ada larangan, tapi karena ada hadits-hadits yang digunakan oleh para ulama yang berpendapat dengan pendapat yang membolehkan, maka kita memaknai hadits larangan tersebut sebagai larangan yang memakruhkan, tidak sampai mengharamkan. Dan kemakruhan tersebut apabila disertai dengan kebutuhan, maka menjadi hilang. Hal ini sesuai dengan kaidah yang disebutkan oleh para ulama: “Tidak ada kemakruhan apabila di sana ada kebutuhan yang mendesak.” Jadi kebutuhan yang mendesak ini bisa menghilangkan hukum makruh sebagaimana darurat bisa menghilangkan hukum haram. Dan kalau kebutuhan yang mendesak saja bisa menghilangkan hukum makruh, apalagi keadaan darurat.

Sehingga pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang membolehkan namun pembolehan tersebut bukan pembolehan, tapi hukumnya makruh. Maka sebaiknya kita hindari atau tinggalkan apabila ada pilihan yang lebih baik, yaitu menggunakan air yang belum digunakan sama sekali untuk mandi oleh lawan jenis atau untuk berwudhu oleh lawan jenis. Wallahu Ta’ala A’lam..

Makanya yang lebih baik bagi kita adalah mandi dengan air yang mengucur seperti dari pancuran atau dari keran. Dengan air yang mengucur tersebut maka air yang digunakan langsung pergi sehingga orang yang berikutnya menggunakan air yang belum digunakan oleh orang sebelumnya. Namun apabila tidak seperti itu, tapi menggunakan ember kemudian ada cipratan-cipratan air yang telah digunakan masuk ke ember tersebut sehingga air di ember tersebut menjadi air musta’mal, ini pun tidak menjadi masalah sama sekali. Namun hukumnya menjadi makruh apabila tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk melakukannya.

Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan selanjutnya..

Download mp3 Kajian Bolehnya Menggunakan Air Musta’mal


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/49071-bolehnya-menggunakan-air-mustamal/